Sejarah
menunjukkan bahwa bangsa-bangsa dari India, Arab, Cina, dan Barat (dataran
Eropa) berpengaruh terhadaptumbuh kembangnya seni budaya, khususnya seni tari
diIndonesia. Sentuhan dan ide kreatif para seniman bangsa inisangat berpengaruh
terhadap budaya bangsa lain sehingga tidaklagi terlihat ciri budaya asingnya.
Sikap
jemari tangan ngruji, nyempurit, dan ngiting pada Tari Jawa (gaya
Yogyakarta dan Solo) merupakan pengaruh sikap tangan paham India. Ketiganya
mengandung arti yangberbeda pada kitab seni Tari India, yaitu Natya Sastra karya Baratha Muni.
Pengaruh
ini sejalan dengan proses perkembangan budaya menjadi larut dalam kultur
masyarakat setempat. Sebagai contoh kecil, pembauran dan larutnya kultur
antarbangsa yang berbeda pada seni tari tradisional Anda, terdapat pada bentuk
gerak tari yang satu sama lain menyerupai, tetapi dengan nama yang berbeda.
Pada tari gaya Yogyakarta, gerak seperti ngruji yang dipakai untuk
bentuk gerak tangan yang juga dipakai untuk salah satu gerak tari Bali. Bentuk
gerak yang sama dipakai istilah ngruyung untuk gaya Solo, dan di Sunda digunakan istilah nanggre.
Istilah
mudra pataka atau ngruji, atau ngruyung pada ajaran India yang
bersumber dari Natya Sastra,
mengandung arti sebagai berikut:
- hutan
- sungai atau laut
- kuda
- waktu malam
- bulan purnama
- hari hujan
- sinar matahari
- bulan atau tahun
Pada
umumnya, pemakaian sikap tangan mudra ini mengutamakan segi estetisnya dibanding ekspresi secara
simbolis. Dengan kata lain, meskipun bentuk gerak sama dengan simbol ajaran
Hindu di India, gerakan yang dilakukan tidak mengandung arti tertentu bagi
Anda. Gerakan dipakai dan ditempatkan dalam koreografi dengan alasan hanya karena bentuknya yang dinilai
indah.
Setelah
melewati fase feodalisme, kondisi sosial ekonomi di Indonesia membaik,
perkembangan seni tari tradisional mendapat tempat yang ‘membaik’ pula.
Masyarakat tidak lagi ragu untuk berkreativitas menuangkan ide dan karya yang
inovatif, setelah selama ini dibelenggu oleh status sosial yang menganggap
bahwa pribumi (inlander)
bodoh. Sebelumnya, tari hanya diperuntukkan bagi kaum bangsawan dan para
pejabat kolonial, sebagai sebuah hiburan yang memuaskan mereka. Pada saat
bangsa terlepas dari kolonialisme, dunia seni tari tradisional merebak bak
jamur di musim semi, setiap daerah memiliki sanggar-sanggar tari yang dipenuhi
para peminat.
Berpuluh-puluh–bahkan
beratus-ratus tarian–di setiap daerah dipelajari, diperkenalkan, dan masuk ke
kalangan pejabat sebagai hiburan atau tari persembahan. Hal ini menimbulkan
gairah bagi para koreografer untuk semakin menambah kekayaan seni tari
Indonesia. Mereka menyelenggarakan festival-festival tari daerah, juga kursus
tari bagi semua kalangan.
Tarian
yang berkembang karena efek sosial dan psikologis, menempatkan tari menjadi
sebuah media ungkapan jiwa yang dapat memberikan profit, juga media kritik, media
refleksitas
hidup masyarakat, media ungkap bagi jiwa yang memiliki kebebasan hidup. Hal ini
menciptakan tarian yang pada saat itu dikenal dengan sebutan tari kreasi baru,
mengembangkan tari tradisional menjadi lebih modern pada masa itu dengan
sentuhan koreografi
yang tetap berakar pada tari tradisi. Misalnya, tari tunggal/kelompok dari
Bali pada Tari Kebyar Duduk; tari berpasangan dari Melayu Sumatra, yaitu Tari
Serampang Dua Belas; tari kelompok dari Aceh, yaitu Tari Saman.
0 komentar:
Posting Komentar